Surat Untuk Ikun: Mengenai Nasib Petani Di Negeri Ini

Gambar

Dear Ikun

Apa kabarmu di sana bung? Semoga sehat selalu dan tidak terkena godaan PHP yang terkutuk ya. Sudah begitu lama kita tidak berjumpa. Terakhir kali kita bertemu adalah beberapa tahun lalu saat kau masih mengikuti tes masuk kuliah di STAN. Kampus yang kau bilang aneh karena sekolah bukannya bayar malah dibayarin, lulus langsung bekerja. Dan jadi lah kau sekarang bekerja di Kementerian Keuangan. Induk semang yang membiayaimu sekolah di STAN dulu.

Aku mengirim surat ini karena aku rindu kawanku bung, dan aku kehilangan kontakmu. Mendadak Facebook dan Twittermu dinonaktifkan, sementara nomor handphone juga raib entah ke mana. Semoga kau sudi meluangkan waktumu membaca surat ini, di tengah kesibukanmu mengurusi pajak Negara yang pasti bikin dahi berkerut-kerut saking rumitnya.

Lalu aku ingat masa kecil kita bung, di sebuah desa kecil di lereng Lawu. Di mana kebanyakan penduduknya bekerja sebagai petani, karena lahan di desa kita sangat cocok untuk ditanami berbagai sayuran. Cabai, tomat, wortel, bawang, kubis, kentang, dan lain sebagainya. Masa kecil kita yang bahagia di tengah indahnya alam pegunungan dan makmurnya kehidupan para petani, entah kenapa tak memancing imajinasi kita agar bercita-cita menjadi petani.

Profesi kedua orang tua kita memang berbeda bung, bapakku petani tulen, sedangkan bapakmu guru SD. Namun, dengan lingkungan sekitar penuh petani, kita tak pernah dengan bangga menyebutkan cita-cita kita suatu hari ingin jadi petani. Seolah menjadi petani adalah sesuatu yang tak dapat dibanggakan. Maka kau lebih memilih belajar teori makro-mikro-ekonomi dan segala tetek bengek perhitungan keuangan agar kelak menjadi ekonom wahid, sedangkan aku memilih kabur ke Yogyakarta, kota sejuta budaya untuk belajar kesenian dan cara membikin sebuah karya elitis yang tidak dapat dimengerti orang banyak.

Apakah setiap hari kau menghitung pajak Negara Ikun? Kalau ada waktu libur sempatkanlah berkunjung ke Jogja. Nanti aku ajak kau jalan-jalan. Tapi jangan berharap kau akan kuajak jalan-jalan ke kota Jogja, menuju Malioboro yang semakin macet setiap waktu, atau membayangkan seperti apa puteri raja dulu mandi di Tamansari. Kau tahu sendiri watakku bagaimana, aku harus selalu mencari masalah. Maka aku tak mau meracunimu dengan yang indah-indah melulu persis update status halaman Facebook “Yogyakarta” dan “Jogja” yang isinya membiusmu dengan racun “Jogja itu selalu baik-baik saja.” Tidak Ikun, Jogja tidak baik-baik saja. Di tengah keindahan dan kenyamanan Jogja tentu tetap saja ada masalah.

Gambar
Gambar

Nah aku ajak kau jalan-jalan ke Kulon Progo. Biar kau tertarik aku ceritakan dulu ya bagaimana saat aku jalan ke sana beberapa waktu yang lalu. Kulon Progo itu kabupaten bung, setelah menempuh perjalanan dengan motor kurang lebih satu jam dari rumah kontrakanku di Bantul. Tibalah aku di Karangwuni. Minggu itu di Karangwuni ramai sekali, jalanan dipenuhi oleh ratusan hampir ribuan orang. Mereka menuju ke satu titik, sebuah halaman dengan atap tidak permanen dan tikar digelar. Orang yang kebetulan lewat barangkali bakal menduga orang sebanyak ini mau pengajian, apalagi ada musik hadrah dimainkan. Namun, kerumunan orang ini bukan mau mengaji Kun, mereka hendak merayakan ulang tahun ke tujuh Paguyuban Petani Lahan Pantai Kulon Progo (PPLP-KP). Dan jangan harap perayaan ulang tahun ini bakal dipenuhi cipratan air comberan dan ceplokan telur mentah persis yang dilakukan anak muda kebanyakan duit lainnya dong! Perayaan ini dipenuhi orasi Kun, teriakan-teriakan lantang yang isinya adalah menolak adanya pertambangan pasir besi hendak didirikan di Kulon Progo. Mereka ini para petani yang marah, karena lahannya, satu-satunya yang membuat mereka hidup hendak diminta paksa. Para petani ini penuh semangat rawe-rawe rantas malang-malang putung siap mati mempertahankan tanahnya tersebut.

Tentu saja para petani ini berang, bayangkan ini Kun. mereka mengolah lahan tersebut semenjak tahun 1980-an, dari lahan gersang tak produktif menjadi lahan yang subur dan mampu menghasilkan tanaman sayur –mayur yang bagus. Sayurannya sama dengan yang dihasilkan daerah kita, cabai, tomat, dan lain sebagainya. Namun, ini tentu membuatmu tercengang, mereka menanam di atas pasir Kun. bukan di tanah subur dan bagus seperti di desa kita. Luar biasa kan? Wajar jika kemanusiaan mereka seperti dilecehkan tatkala perjuangan mereka mengolah lahan itu semenjak tahun 80-an harus mengalah pada keserakahan tipikal manusia yang mengejawantah dalam sebuah korporasi bernama JMI (PT. Jogja Mangasa Iron) yang sejak tahun 2005 berupaya mendirikan tambang pasir besi, di atas lahan pertanian. Petani di Kulon Progo yakin memperjuangkan lahan pertaniannya Kun, karena mereka yakin bila tambang pasir besi beroperasi di Kulonprogo, akan aada pemiskinan struktural dan banyak masalah lain timbul. Mereka lantang berteriak “BERTANI ATAU MATI.”

Gambar
Gambar

Iya Ikun aku tahu, logikamu sebagai ekonom tentu mau bicara banyak perihal kepemilikan toh? Kamu pasti mau berkata “loh itu tanah yang mereka garap bukannya milik Sultan Jogja? Dan saat Sultan menginginkan tanahnya untuk dibikin tambang pasir besi ya sah-sah saja dong?” nah, aku suntikkan logika nurani padamu deh biar kau melek. Apakah lantas dibenarkan bagi seorang pemimpin yang dianggap pengayom oleh rakyatnya untuk mengambil sesuatu yang menjadi hajat hidup rakyatnya tersebut? Integritas sang pemimpin di sini dipertanyakan, lebih membela rakyatnya, atau pengusaha dan korporasi multinasional yang pemiliknya barangkali tengah berleha-leha main golf di California sana.

Negara itu sudah mati Kun, Negara adalah sebuah kedaulatan usang yang sekarang ini lebih banyak melegitimasi dan membantu penguasa dunia yang sesungguhnya: korporasi. Barangkali sang penguasa daerah yang terkenal dengan gudeg ini adalah bagian dari tidak hadirnya Negara dalam berbagai sengketa rakyatnya.

Kau pernah nonton Spongebob Squarepant The Movie kan? Diceritakan saat raja Neptunus kehilangan mahkotanya karena dicuri Plankton, watak feodalnya muncul. Dengan semena-mena hendak mengeksekusi Mr. Crab sebagai tertuduh, lalu saat Bikini Bottom porak-poranda dikuasai Plankton yang menghipnotis semua orang, sang raja malah sibuk mengurusi kepalanya yang botak tak tertutup mahkota. Loh kau heran kenapa aku malah bercerita tentang film si kotak kuning? Karena inilah wajah bopeng feodalisme Kun. Di balik slogan mengayomi dan kewibawaan demi kesejahteraan rakyat, feodalisme sebenarnya akan selalu mementingkan kesejahteraan sang penguasa dan keluarganya sendiri.

Nanti kalau ke Kulon Progo kau harus berkenalan dengan mas Widodo, beliau ini petani juga, dan koordinator gerakan menolak tambang pasir besi ini. Mas Widodo bilang dia sempat menuju Filipina untuk mengikuti seminar di University of Philipines. Lalu menyatakan bahwa “memang ada kerabat dari keraton yang berinvestasi di sini (tambang pasir besi), seperti Pembayun dan Prabukusumo. Ini juga saya sampaikan dalam seminar internasional, ini bentuk keraton tidak prorakyat,” katanya. Ada cinta terlarang penguasa dengan korporasi di sini. Keberpihakan pemerintah pada investor lebih kuat (PT JMI menjanjikan royalty sebesar 3 % per tahun).
Sri Sultan Hamengku Buwono X adalah peran sentral karena menjabat sebagai Gubernur, Raja, dan Pengusaha tidak memberi jalan bagi pengelolaan sumber daya alam secara kolaboratif, namun hanya menyerahkan persoalan ini pada proses politik di tingkat kabupaten. Nuansa
nepotisme PT JMI dan dominasi kepentingan pribadi elite Kasultanan dan Pakualaman pada proyek ini kuat ditandai dengan keberadaan Pembayun (puteri Sultan) dan kerabatnya sebagai komisaris, hal ini dibuktikan dengan akte notaris PT JMM (sebelum berubah menjadi JMI).

Semuanya adalah mengenai cinta terlarang Kun, bukan cinta terlarang seperti yang diceritakan lagu “Sephia” Sheila On 7 atau “Kekasih Gelap”-nya Ungu. Tapi cinta terlarang antara penguasa dengan korporasi dan mental kapital. Baik itu penguasa daerah, maupun penguasa Negara. Kau tahu kan kalau presidenmu, beliau terlibat cinta terlarang dengan partai birunya. Praktis cintanya pada Negara tentu akan berkurang, maka menjadi wajar jika Negara saat ini tak akan hadir untuk memenuhi tanggungjawabnya mengurai permasalahan di Kulon Progo. Jangankan Kulon Progo, di Bekasi yang lebih dekat dengan pusat pemerintahan saja tak tersentuh, sehingga para Jemaat Ahmadiyah teraniaya tanpa adanya campur tangan Negara melindungi warganya.

Ikun yang baik, kau dan aku harusnya sadar, bahwa kita dan banyak anak muda lain memang memilih hidup masing-masing sesuai keinginan. Namun, paling tidak kita harus sadar bahwa tanpa petani, apa gunanya semua uang yang kita kumpulkan dari pekerjaan kita? Tanpa petani tak ada produk pangan dihasilkan, saat itulah kita baru sadar uang itu tidak enak dimakan, dan petani sebagai penghasil pangan berperan penting menyokong kehidupan.

Lalu aku ingat Bapakku Kun, beliau barangkali sedang di kebun cabainya, menyemprotkan pestisida atau menyiangi rumput liar. Beliau dan para petani di lereng Lawu tentu masih cukup beruntung dapat menanami lahannya dengan tenang, tanpa ada sengketa dengan kuasa. Ingin rasanya suatu hari aku mengajak beliau, dan para petani desaku singgah ke Kulon Progo. Sekadar menilik bagaimana kerasnya perjuangan saudara sesama petani mereka, atau sekaligus memberikan dukungan moral.

Ayo Kun segeralah balas surat ini, lalu putuskan kapan kau mau ke Jogja. Aku siap antar kau ke Kulon Progo. Agar setelah melihat dengan mata dan kepalamu sendiri, kau bisa ceritakan di Jakarta sana, ke kawan-kawanmu di Dirjen Pajak. Atau update status di Facebook dan Twittermu. Ceritakan bahwa disaat televisi biru membual tentang restorasi Indonesia yang lebih baik atau banalnya kabar mengenai Adi Bing Slamet yang berang merasa ditipu Eyang Subur, di saat generasi kita sibuk memperdebatkan mana yang lebih baik antara menjadi hipster atau alay, saat Ibu Kota dibombardir konser-konser artis internasional dengan harga tiket melebihi gajiku sebulan waktu bekerja sebagai pelayan rumah makan bebek goreng dulu, di Kulon Progo tengah ada gejolak besar, gejolak mengenai upaya menyelamatkan nyawa ribuan manusia yang menggantungkan hidupnya pada pertanian, pertanian yang dianaktirikan dan hendak digusur demi pertambangan dalam rangka profit sejumlah golongan.

Gambar
Gambar

Nasib petani di negeri ini apakah akan membaik Kun? Kau sebagai orang ekonomi harusnya menghitung dong, bagaimana jadinya kalau tak ada petani di negeri ini! Ah Indonesia adalah negeri agraris itu sungguh hanya sebuah mitos, mitos yang dipertahankan untuk membesarkan hati petani. Karena faktanya petani tak mendapat keistimewaan. Saat mereka membela lahan mereka justru mereka dianggap sebagai warga Negara yang tidak baik dan mencari huru-hara. Pak Tukijo adalah salah satu petani Kulon Progo yang ditangkap dan dipenjara karena mempertahankan lahannya. Ini bukan negeri agraris Kun, ini negeri preman.

Wah suratku terlampau panjang ya. Maaf Kun, aku sedang bersemangat. Semoga kau baik-baik saja di ibu kota sana, jangan sampai semangat hidupmu musnah tergerus kejamnya jalanan Jakarta ya. Kita harus tua di desa kita, menikmati masa tua di desa. Jangan sampai kau tua di jalan (Jakarta). Semoga saat kita menikmati masa tua di desa kita, masih ada generasi yang menjadi petani. Bantu aku berdoa pula Kun, semoga para petani di Kulonprogo tetap sehat dan bersemangat memperjuangkan haknya, sembari menyanyikan lagu nasional “Maju tak gentaaaarr membeeeela yang benaaaarr.”

Salam, dari sahabat masa kecilmu yang merindukanmu.

Yogyakarta, 6 April 2013.

Aris Setyawan: Penulis adalah mahasiswa jurusan Etnomusikologi Institut Seni Indonesia Yogyakarta yang bosan dengan setiap hari perkuliahan. Bermain drum untuk Aurette and the Polska Seeking Carnival, penggila kucing, penggiat peduli anak jalanan di Save Street Child Jogja, kutu buku poll-poll-an, berharap semoga satu hari Radiohead konser di Indonesia.

Gambar
Gambar

Satu tanggapan untuk “Surat Untuk Ikun: Mengenai Nasib Petani Di Negeri Ini

Tinggalkan komentar

Situs ini menggunakan Akismet untuk mengurangi spam. Pelajari bagaimana data komentar Anda diproses.